Rezim Anti Pencucian Uang: Peran Strategis dan Perkembangan Terkini
A. PENGANTAR
Penelusuran suatu kejahatan dalam sistem keuangan dewasa ini semakin terasa keefektifannya. Sistem keuangan terbukti mampu menemukan dan memantau suatu kejahatan dan melengkapi informasi yang diperlukan untuk investigasi suatu kejahatan. Di Indonesia, kasus-kasus kejahatan yang terinisiasi atas temuan pada sistem keuangan cukup banyak, dan meningkat drastis setiap tahunnya.
Sebagai contoh, kasus gratifikasi yang terjadi oleh beberapa petugas Kantor Pajak Jakarta Utara, sampai saat ini bisa saja belum tercium aparat penegak hukum, seandainya tidak ada laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Temuan atas kasus ini bermula dari kecurigaan Bank Z terhadap transaksi dalam rekening AB seorang pegawai disalah satu instansi pemerintah. Pada bulan April 2007, AB melakukan penyetoran dana ke rekeningnya di Bank Z dalam bentuk valuta asing senilai USD 500.000 (Rp 4,5 M). Dana tersebut selanjutnya dipindahkan ke beberapa rekening milik istri, teman kerja dan seorang wanita berprofesi pemandu lagu. Transaksi setoran valas tersebut dinilai tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil AB selaku pegawai disalah satu instansi pemerintah. Bank Z kemudian melaporkan transaski tersebut kepada otoritas berwenang. Berdasarkan analisis otoritas berwenang diindikasikan adanya unsur tindak pidana sehingga diteruskan kepada pihak penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut. Sesuai hasil penyidikan diketahui bahwa dana yang disetorkan oleh AB ke rekeningnya di Bank Z berasal dari pemberian (gratifikasi) PT X karena AB telah membantu melakukan mark down (mengurangi) penerimaan pajak dari setoran PT X ke negara senilai Rp 70 M pada tahun 2007. Kasus ini telah dilimpahkan ke pengadilan dan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara terhadap AB karena terbukti telah melakukan TPPU dari hasil gratifikasi.
Kejahatan pengaburan asal-usul kekayaan hasil kejahatan atau pencucian uang merupakan tindak pidana terorganisir (organized crime). Seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar dengan modus operandi yang semakin kompleks dan memanfaatkan kemajuan teknologi dan rekayasa keuangan yang sangat canggih. Perkiraan Financial Action Task Force (FATF) atas jumlah uang yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkoba berkisar antara US$ 300 miliar hingga US$ 500 miliar. Sementara uang yang dicuci dari seluruh kejahatan belum ada data lebih pasti, perkiraan paling mutakhir mencapai kurang lebih US$ 1 Triliun. Mantan Managing Director IMF Michael Camdessus memperkirakan volume cross border money laundering adalah antara 2-5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Cukup sulit menghitung angka kerugian negara di Indonesia hanya dari jumlah nominal rupiah yang ada disebuah laporan transaksi keuangan menncurigakan (LTKM). Selain baru merupakan indikasi (belum memiliki kekuatan hukum sebagai sebuah tindak pidana), LTKM yang tercatat disatu penyedia jasa keuangan (PJK) akan tercatat di PJK lainnya, karena aliran dana tersebut tidak terhenti di satu PJK. Namun demikian, jumlah kerugian negara akan kurang lebih sebanding dengan suatu proceeds of crimes.
Kejahatan keuangan dan pencucian uang berdampak sangat luas terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama sektor perekonomian. Secara makro, money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapatan negara dan meningkatnya country risk, sementara secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan mengganggu persaingan. Selain itu, secara sosial politik dapat menimbulkan permasalahan sosial politik yang terkait dengan banyaknya uang haram yang dipakai dalam interaksi sosial politik. Money laundering juga dapat mengakibatkan tidak berjalannya sistem hukum dengan baik sehingga mengurangi kepastian hukum yang penting bagi semua orang.
Dalam berbagai kasus yang terjadi, tindak pidana pencucian uang paling dominan dilakukan melalui sistem keuangan. International Narcotics Control Strategic Report (INCSR) tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjelaskan bahwa semakin majunya sistem keuangan suatu negara, semakin menarik para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatannya. Besarnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana pencucian uang mengharuskan efektifnya pengawasan sistem keuangan agar tidak digunakan sebagai sarana pencucian uang.
B. REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PERAN STRATEGISNYA
Konstruksi rezim anti pencuci uang (lebih dikenal dengan rezim anti money laundering/AML) sesuai dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) UU TPPU memberi kewenangan, hak dan kewajiban tertentu bagi institusi terkait, seperti aparat penegak hukum, penyedia jasa keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mentrasir proses penyembunyian asal-usul dana hasil kejahatan (follow the money) sampai tindakan penerapan UU TPPU bagi pelaku pencucian uang.
PPATK dalam kontruksi UU TPPU ditempatkan sebagai focal point, yang memiliki fungsi utama dalam menyediakan dan memberikan informasi intelijen keuangan kepada aparat penegak hukum tentang dugaan tindak pidana pencucian uang atau dugaan tindak pidana asal. Informasi intelijen dimaksud merupakan hasil analisis berbagai informasi yang diperoleh PPATK dari berbagai sumber, termasuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)[6], Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan Laporan Pembawaan Uang Tunai yang diberikan penyedia jasa keuangan maupun dari Financial Intelijent Unit (FIU) negara lain. Selain juga terdapat pemberian informasi yang dihasilkan dari hasil kerjasama berdasar Nota Kesepahaman dengan lembaga di dalam negeri serta informasi dari publik/media massa.
Saat ini PPATK telah menjalin kerjasama dengan 24 instansi dalam negeri dan 30 FIU melalui penandatanganan Nota Kesepahaman. PPATK juga secara proaktif telah memanfaatkan database Egmont Group (Paguyuban FIU Sedunia). Selain itu, berkat dukungan Kapolri dan jajaran NCB Interpol Indonesia, PPATK telah dapat mengakses database yang dimiliki oleh jejaring NCB-Interpol Sedunia yang dikenal dengan I 24/7. Akses terhadap pusat-pusat data ini sangat penting untuk memperkaya dan mempertajam analisi PPATK terhadap transaksi keuangan mencurigakan.
Berbagai informasi tersebut kemudian direkonstruksikan oleh PPATK sehingga dapat dilihat keterkaitan antara berbagai transaksi sejumlah dana, orang terkait, sumber dana/perbuatan menghasilkan dana tersebut. Selanjutnya, informasi yang dihasilkan diteruskan kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dilakukan penyelidikan, yang diteruskan dengan penyidikan dan proses peradilan.
Selain proses yang sifatnya bottom up berasal dari penyedia jasa keuangan, terdapat pula mekanisme top down yang dapat dimanfaatkan aparat penegak hukum dalam melakukan investigasi. Dalam hal ini, aparat penegak hukum dapat meminta informasi keuangan kepada PPATK untuk melengkapi informasi hasil operasi di lapangan. PPATK akan mencari informasi dari berbagai sumber, seperti database yang sudah ada, FIU negara lain jika diperlukan, serta meminta informasi berupa LTKM kepada penyedia jasa keuangan.
Hasil kejahatan merupakan live bloods of the crime, darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri. Dalam hal ini pendekatan pengejaran terhadap hasil kejahatan menjadi semakin strategis untuk dilakukan mengingat hasil kejahatannya begitu besar. Selain itu, pendekatan ini juga dapat memperluas jangkauan untuk menangkap pelaku yang terlibat, sampai aktor intelektualnya, tak hanya pelaku di lapangan saja. Sehingga dirasakan adil. Keberadaan pendekatan anti pencucian uang melengkapi upaya pendekatan konvensional sehingga meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan suatu kejahatan. Dengan mengejar hasil tindak pidana ini, kita menggempur ”lifeblood of the crime” dan menghilangkan motivasi orang untuk melakukan kejahatan.
C. PERKEMBANGAN TERKINI
Pengawasan sektor keuangan dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU TPPU oleh PPATK merupakan sektor strategis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pada satu sisi, PPATK sebagai focal point, memiliki akses yang luar biasa terhadap sistem keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan, yakni melalui:
Penelusuran suatu kejahatan dalam sistem keuangan dewasa ini semakin terasa keefektifannya. Sistem keuangan terbukti mampu menemukan dan memantau suatu kejahatan dan melengkapi informasi yang diperlukan untuk investigasi suatu kejahatan. Di Indonesia, kasus-kasus kejahatan yang terinisiasi atas temuan pada sistem keuangan cukup banyak, dan meningkat drastis setiap tahunnya.
Sebagai contoh, kasus gratifikasi yang terjadi oleh beberapa petugas Kantor Pajak Jakarta Utara, sampai saat ini bisa saja belum tercium aparat penegak hukum, seandainya tidak ada laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Temuan atas kasus ini bermula dari kecurigaan Bank Z terhadap transaksi dalam rekening AB seorang pegawai disalah satu instansi pemerintah. Pada bulan April 2007, AB melakukan penyetoran dana ke rekeningnya di Bank Z dalam bentuk valuta asing senilai USD 500.000 (Rp 4,5 M). Dana tersebut selanjutnya dipindahkan ke beberapa rekening milik istri, teman kerja dan seorang wanita berprofesi pemandu lagu. Transaksi setoran valas tersebut dinilai tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil AB selaku pegawai disalah satu instansi pemerintah. Bank Z kemudian melaporkan transaski tersebut kepada otoritas berwenang. Berdasarkan analisis otoritas berwenang diindikasikan adanya unsur tindak pidana sehingga diteruskan kepada pihak penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut. Sesuai hasil penyidikan diketahui bahwa dana yang disetorkan oleh AB ke rekeningnya di Bank Z berasal dari pemberian (gratifikasi) PT X karena AB telah membantu melakukan mark down (mengurangi) penerimaan pajak dari setoran PT X ke negara senilai Rp 70 M pada tahun 2007. Kasus ini telah dilimpahkan ke pengadilan dan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara terhadap AB karena terbukti telah melakukan TPPU dari hasil gratifikasi.
Kejahatan pengaburan asal-usul kekayaan hasil kejahatan atau pencucian uang merupakan tindak pidana terorganisir (organized crime). Seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar dengan modus operandi yang semakin kompleks dan memanfaatkan kemajuan teknologi dan rekayasa keuangan yang sangat canggih. Perkiraan Financial Action Task Force (FATF) atas jumlah uang yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkoba berkisar antara US$ 300 miliar hingga US$ 500 miliar. Sementara uang yang dicuci dari seluruh kejahatan belum ada data lebih pasti, perkiraan paling mutakhir mencapai kurang lebih US$ 1 Triliun. Mantan Managing Director IMF Michael Camdessus memperkirakan volume cross border money laundering adalah antara 2-5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Cukup sulit menghitung angka kerugian negara di Indonesia hanya dari jumlah nominal rupiah yang ada disebuah laporan transaksi keuangan menncurigakan (LTKM). Selain baru merupakan indikasi (belum memiliki kekuatan hukum sebagai sebuah tindak pidana), LTKM yang tercatat disatu penyedia jasa keuangan (PJK) akan tercatat di PJK lainnya, karena aliran dana tersebut tidak terhenti di satu PJK. Namun demikian, jumlah kerugian negara akan kurang lebih sebanding dengan suatu proceeds of crimes.
Kejahatan keuangan dan pencucian uang berdampak sangat luas terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama sektor perekonomian. Secara makro, money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapatan negara dan meningkatnya country risk, sementara secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan mengganggu persaingan. Selain itu, secara sosial politik dapat menimbulkan permasalahan sosial politik yang terkait dengan banyaknya uang haram yang dipakai dalam interaksi sosial politik. Money laundering juga dapat mengakibatkan tidak berjalannya sistem hukum dengan baik sehingga mengurangi kepastian hukum yang penting bagi semua orang.
Dalam berbagai kasus yang terjadi, tindak pidana pencucian uang paling dominan dilakukan melalui sistem keuangan. International Narcotics Control Strategic Report (INCSR) tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjelaskan bahwa semakin majunya sistem keuangan suatu negara, semakin menarik para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatannya. Besarnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana pencucian uang mengharuskan efektifnya pengawasan sistem keuangan agar tidak digunakan sebagai sarana pencucian uang.
B. REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PERAN STRATEGISNYA
Konstruksi rezim anti pencuci uang (lebih dikenal dengan rezim anti money laundering/AML) sesuai dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) UU TPPU memberi kewenangan, hak dan kewajiban tertentu bagi institusi terkait, seperti aparat penegak hukum, penyedia jasa keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mentrasir proses penyembunyian asal-usul dana hasil kejahatan (follow the money) sampai tindakan penerapan UU TPPU bagi pelaku pencucian uang.
PPATK dalam kontruksi UU TPPU ditempatkan sebagai focal point, yang memiliki fungsi utama dalam menyediakan dan memberikan informasi intelijen keuangan kepada aparat penegak hukum tentang dugaan tindak pidana pencucian uang atau dugaan tindak pidana asal. Informasi intelijen dimaksud merupakan hasil analisis berbagai informasi yang diperoleh PPATK dari berbagai sumber, termasuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)[6], Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dan Laporan Pembawaan Uang Tunai yang diberikan penyedia jasa keuangan maupun dari Financial Intelijent Unit (FIU) negara lain. Selain juga terdapat pemberian informasi yang dihasilkan dari hasil kerjasama berdasar Nota Kesepahaman dengan lembaga di dalam negeri serta informasi dari publik/media massa.
Saat ini PPATK telah menjalin kerjasama dengan 24 instansi dalam negeri dan 30 FIU melalui penandatanganan Nota Kesepahaman. PPATK juga secara proaktif telah memanfaatkan database Egmont Group (Paguyuban FIU Sedunia). Selain itu, berkat dukungan Kapolri dan jajaran NCB Interpol Indonesia, PPATK telah dapat mengakses database yang dimiliki oleh jejaring NCB-Interpol Sedunia yang dikenal dengan I 24/7. Akses terhadap pusat-pusat data ini sangat penting untuk memperkaya dan mempertajam analisi PPATK terhadap transaksi keuangan mencurigakan.
Berbagai informasi tersebut kemudian direkonstruksikan oleh PPATK sehingga dapat dilihat keterkaitan antara berbagai transaksi sejumlah dana, orang terkait, sumber dana/perbuatan menghasilkan dana tersebut. Selanjutnya, informasi yang dihasilkan diteruskan kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dilakukan penyelidikan, yang diteruskan dengan penyidikan dan proses peradilan.
Selain proses yang sifatnya bottom up berasal dari penyedia jasa keuangan, terdapat pula mekanisme top down yang dapat dimanfaatkan aparat penegak hukum dalam melakukan investigasi. Dalam hal ini, aparat penegak hukum dapat meminta informasi keuangan kepada PPATK untuk melengkapi informasi hasil operasi di lapangan. PPATK akan mencari informasi dari berbagai sumber, seperti database yang sudah ada, FIU negara lain jika diperlukan, serta meminta informasi berupa LTKM kepada penyedia jasa keuangan.
Hasil kejahatan merupakan live bloods of the crime, darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri. Dalam hal ini pendekatan pengejaran terhadap hasil kejahatan menjadi semakin strategis untuk dilakukan mengingat hasil kejahatannya begitu besar. Selain itu, pendekatan ini juga dapat memperluas jangkauan untuk menangkap pelaku yang terlibat, sampai aktor intelektualnya, tak hanya pelaku di lapangan saja. Sehingga dirasakan adil. Keberadaan pendekatan anti pencucian uang melengkapi upaya pendekatan konvensional sehingga meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan suatu kejahatan. Dengan mengejar hasil tindak pidana ini, kita menggempur ”lifeblood of the crime” dan menghilangkan motivasi orang untuk melakukan kejahatan.
C. PERKEMBANGAN TERKINI
Pengawasan sektor keuangan dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU TPPU oleh PPATK merupakan sektor strategis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pada satu sisi, PPATK sebagai focal point, memiliki akses yang luar biasa terhadap sistem keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan, yakni melalui:
1) Mekanisme kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang dianggap mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan;
2) Mekanisme kewajiban pelaporan transaksi tertentu oleh penyedia jasa keuangan;
3) Mekanisme audit kepatuhan penyedia jasa keuangan;
4) Kemudahan dalam mengakses informasi/transaksi keuangan dalam rangka membantu penegakkan hukum terutama dalam kasus-kasus pencucian uang.
Saat ini, jumlah penyedia jasa keuangan dari berbagai jenis industri keuangan yang telah melapor (baik LTKM maupun LTKT ataupun keduanya) kepada PPATK sebanyak 123 jenis bank umum, 118 jenis perusahaan efek, 155 perusahaan asuransi, 144 perusahaan pembiayaan, 107 manajer investasi, 20 pedagang valuta asing, dan 10 BPR.
Selama beberapa tahun terakhir, jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan PJK kepada PPATK telah meningkat pesat. Jika pada tahun 2002, jumlah LTKM per bulannya adalah 10,3, jumlah ini meningkat menjadi 171 LTKM per bulan pada tahun 2005, dan terus menanjak menjadi 290 LTKM per bulan pada tahun 2006, 486 LTKM per bulan pada tahun 2007, dan masih terus menanjak drastis menjadi rata-rata 869 LTKM per bulan pada tahun 2008. Pada tahun 2009, sampai dengan bulan April jumlah LTKM sebanyak 1310 LTKM sehingga rata-rata per hari menjadi 43 LTKM.
Hingga akhir April 2009, sebanyak 136 PJK berbentuk bank dan 109 PJK non bank telah menyampaikan 28.297 LTKM. Sedangkan LTKT yang diterima oleh PPATK berjumlah 6.597.392. Sementara itu, penyampaian informasi Laporan Pembawaan Uang Tunai (CBCC) keluar atau masuk wilayah pabean Indonesia di atas jumlah Rp 100 Juta atau ekuivalen dalam valuta asing oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai di 6 pelabuhan ke PPATK hingga akhir April 2009 sebanyak 3.446.
Sebagai tindak lanjut atas laporan yang diterima, sebanyak 683 Laporan Hasil Analisis telah disampaikan oleh PPATK kepada aparat penegak hukum, yang terdiri dari: 645 kasus/hasil analisis disampaikan kepada Kepolisian/Kejaksaan; dan 38 kasus/hasil analisisi disampaikan kepada Kejaksaan. Sejumlah kasus tersebut, didominasi oleh kasus korupsi sebanyak 309 kasus dan kasus penipuan sebanyak 211 kasus, selengkapnya disampaikan sebagai berikut:
2) Mekanisme kewajiban pelaporan transaksi tertentu oleh penyedia jasa keuangan;
3) Mekanisme audit kepatuhan penyedia jasa keuangan;
4) Kemudahan dalam mengakses informasi/transaksi keuangan dalam rangka membantu penegakkan hukum terutama dalam kasus-kasus pencucian uang.
Saat ini, jumlah penyedia jasa keuangan dari berbagai jenis industri keuangan yang telah melapor (baik LTKM maupun LTKT ataupun keduanya) kepada PPATK sebanyak 123 jenis bank umum, 118 jenis perusahaan efek, 155 perusahaan asuransi, 144 perusahaan pembiayaan, 107 manajer investasi, 20 pedagang valuta asing, dan 10 BPR.
Selama beberapa tahun terakhir, jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan PJK kepada PPATK telah meningkat pesat. Jika pada tahun 2002, jumlah LTKM per bulannya adalah 10,3, jumlah ini meningkat menjadi 171 LTKM per bulan pada tahun 2005, dan terus menanjak menjadi 290 LTKM per bulan pada tahun 2006, 486 LTKM per bulan pada tahun 2007, dan masih terus menanjak drastis menjadi rata-rata 869 LTKM per bulan pada tahun 2008. Pada tahun 2009, sampai dengan bulan April jumlah LTKM sebanyak 1310 LTKM sehingga rata-rata per hari menjadi 43 LTKM.
Hingga akhir April 2009, sebanyak 136 PJK berbentuk bank dan 109 PJK non bank telah menyampaikan 28.297 LTKM. Sedangkan LTKT yang diterima oleh PPATK berjumlah 6.597.392. Sementara itu, penyampaian informasi Laporan Pembawaan Uang Tunai (CBCC) keluar atau masuk wilayah pabean Indonesia di atas jumlah Rp 100 Juta atau ekuivalen dalam valuta asing oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai di 6 pelabuhan ke PPATK hingga akhir April 2009 sebanyak 3.446.
Sebagai tindak lanjut atas laporan yang diterima, sebanyak 683 Laporan Hasil Analisis telah disampaikan oleh PPATK kepada aparat penegak hukum, yang terdiri dari: 645 kasus/hasil analisis disampaikan kepada Kepolisian/Kejaksaan; dan 38 kasus/hasil analisisi disampaikan kepada Kejaksaan. Sejumlah kasus tersebut, didominasi oleh kasus korupsi sebanyak 309 kasus dan kasus penipuan sebanyak 211 kasus, selengkapnya disampaikan sebagai berikut:
Tindak Pidana | Jumlah Kasus |
Korupsi | 309 |
Penggelapan | 12 |
Penipuan | 211 |
Kejahatan Perbankan | 31 |
Pemalsuan Dokumen | 21 |
Teroris | 6 |
Penggelapan Pajak | 7 |
Perjudian | 6 |
Penyuapan | 18 |
Narkotika | 15 |
Pornografi Anak | 1 |
Pemalsuan Uang/Rupiah | 4 |
Pencurian | 1 |
Pembalakan Liar | 6 |
Penyelundupan | 5 |
Tidak Teridentifikasi/dll | 30 |
Jumlah | 683 |
(Tabel I Laporan Hasil Analisis Berdasar Tindak Pidana Asal)
Selain laporan hasil analisis, PPATK juga menerima permintaan informasi baik dari aparat penegak hukum lingkup nasional maupun pertukaran informasi dengan financial intelligence unit negara lainnya. Permintaan terbanyak dari Kepolisian sebanyak 411 permintaan, dari KPK sebanyak 225 permintaan, Kejaksaan sebanyak 65 permintaan dan lainnya sebanyak 54 permintaan. Permintaan dari counterpart luar negeri sebanyak 109 permintaan. PPATK sendiri mengajukan permintaan informasi ke counterpart di luar negeri sebanyak 152 permintaan. Secara spontan PPATK menerima (tanpa permintaan) informasi dari counterpart di luar negeri sebanyak 15 informasi, sebaliknya memberi informasi secara spontan sebanyak 4 informasi. Selain itu, counterpart FIU luar negeri meminta informasi kepada PPATK sebanyak 114 permintaan.
Berdasarkan data Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang diterima oleh PPATK selama periode Januari s/d Desember 2008, dapat diketahui trend tindak pidana pencucian uang, sebagai berikut :
Selain laporan hasil analisis, PPATK juga menerima permintaan informasi baik dari aparat penegak hukum lingkup nasional maupun pertukaran informasi dengan financial intelligence unit negara lainnya. Permintaan terbanyak dari Kepolisian sebanyak 411 permintaan, dari KPK sebanyak 225 permintaan, Kejaksaan sebanyak 65 permintaan dan lainnya sebanyak 54 permintaan. Permintaan dari counterpart luar negeri sebanyak 109 permintaan. PPATK sendiri mengajukan permintaan informasi ke counterpart di luar negeri sebanyak 152 permintaan. Secara spontan PPATK menerima (tanpa permintaan) informasi dari counterpart di luar negeri sebanyak 15 informasi, sebaliknya memberi informasi secara spontan sebanyak 4 informasi. Selain itu, counterpart FIU luar negeri meminta informasi kepada PPATK sebanyak 114 permintaan.
Berdasarkan data Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang diterima oleh PPATK selama periode Januari s/d Desember 2008, dapat diketahui trend tindak pidana pencucian uang, sebagai berikut :
a. Trend meningkat
Trend modus operadi tindak pidana pencucian uang dengan cara penipuan melalui penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan rekening di bank menunjukan peningkatan secara signifikan dibandingkan tindak pidana lainnya.
b. Trend yang baru muncul
Pencucian uang dengan melalui pembelian asset berharga, penempatan investasi pada financial market.
c. Trend yang berkelanjutan
Tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi masih tetap banyak dilakukan, terutama melalui penyalahgunaan APBN/APBD oleh bendahara/pemegang kas di instansi-instansi pemerintah.
d. Trend menurun
Belum dapat diidentifikasi trend tindak pidana pencucian uang yang menurun.
D. PENUTUP
Pendekatan rezim anti money laundering merupakan paradigma baru dalam mengejar hasil tindak pidana. Dengan pendekatan ini diharapkan semua hasil tindak pidana dapat dirampas untuk negara sehingga angka kriminalitas diharapkan berkurang dan sistem keuangan lebih stabil dan terpercaya.
Penguatan rezim anti pencucian uang merupakan satu keharusan. Dalam hal ini dilaksanakan dengan memperkuat 6 (enam) pilar utama yang satu sama lain sangat erat kaitannya, yakni:
Pendekatan rezim anti money laundering merupakan paradigma baru dalam mengejar hasil tindak pidana. Dengan pendekatan ini diharapkan semua hasil tindak pidana dapat dirampas untuk negara sehingga angka kriminalitas diharapkan berkurang dan sistem keuangan lebih stabil dan terpercaya.
Penguatan rezim anti pencucian uang merupakan satu keharusan. Dalam hal ini dilaksanakan dengan memperkuat 6 (enam) pilar utama yang satu sama lain sangat erat kaitannya, yakni:
1. Penguatan hukum dan peraturan perundang-undangan;
2. Sumber daya manusia dan sistem teknologi informasi;
3. Analisis dan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan;
4. Kerjasama domestik dan internasional;
5. Kelembagaan;
6. Penelitian dan pengembangan.
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU telah disusun untuk rentang waktu 5 (lima) tahun kedepan (2007-2011). Ditujukan untuk mengenali berbagai macam kelemahan dalam pelaksanaan Rezim Anti Pencucian Uang yang membutuhkan tindakan peneyelesaian yang representatif ditingkat eksekutif dan legislatif. Strategi Nasional ini merekomendasikan langkah-langkah strategis dalam berbagai bidang, yaitu:
2. Sumber daya manusia dan sistem teknologi informasi;
3. Analisis dan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan;
4. Kerjasama domestik dan internasional;
5. Kelembagaan;
6. Penelitian dan pengembangan.
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU telah disusun untuk rentang waktu 5 (lima) tahun kedepan (2007-2011). Ditujukan untuk mengenali berbagai macam kelemahan dalam pelaksanaan Rezim Anti Pencucian Uang yang membutuhkan tindakan peneyelesaian yang representatif ditingkat eksekutif dan legislatif. Strategi Nasional ini merekomendasikan langkah-langkah strategis dalam berbagai bidang, yaitu:
1. pembuatan single identiy number (nomor identitas tunggal) bagi semua warga negara Indonesia untuk memudahkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana.
2. Pengundangan rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang secepatnya agar Indonesia memiliki undang-undang anti pencucian uang yang lebih komprehensif dan efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan standar internasional.
3. Pengelolaan database secara elektronis dan connectivity (ketersambungan) database antar instansi terkait agar kebutuhan informasi setiap instansi terkait dapat terpenuhi secepatnya, sehingga penanganan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya menjadi lebih efektif dan efisien.
4. Peningkatkan pengawasan kepatuhan penyedia jasa keuangan agar penyedia jasa keuangan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk memenuhi kewajibannya sebagai pihak pelapor.
5. Mengefektifkan penerapan penyitaan aset (aset forfeiture) dan pengembalian aset (asset recovery) agar harta kekayaan hasil kejahatan yang kembali ke negara dapat lebih maksimal dan sekaligus dapat memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembanguan perekonomian nasional.
6. Pengikatkan peran serta masyarakat melalui kampanye publik untuk mendukung pelaksanan rezim anti pencucian uang di Indonesia.
7. Percepatan ratifikasi dan harmonisasi perjanjian internasional.
8. Penguatan pengaturan tentang jasa pengiriman uang alternatif (Alternative Remittance System) dan pengiriman uang secara elektronis (wire transfer).
2. Pengundangan rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang secepatnya agar Indonesia memiliki undang-undang anti pencucian uang yang lebih komprehensif dan efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan standar internasional.
3. Pengelolaan database secara elektronis dan connectivity (ketersambungan) database antar instansi terkait agar kebutuhan informasi setiap instansi terkait dapat terpenuhi secepatnya, sehingga penanganan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya menjadi lebih efektif dan efisien.
4. Peningkatkan pengawasan kepatuhan penyedia jasa keuangan agar penyedia jasa keuangan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk memenuhi kewajibannya sebagai pihak pelapor.
5. Mengefektifkan penerapan penyitaan aset (aset forfeiture) dan pengembalian aset (asset recovery) agar harta kekayaan hasil kejahatan yang kembali ke negara dapat lebih maksimal dan sekaligus dapat memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembanguan perekonomian nasional.
6. Pengikatkan peran serta masyarakat melalui kampanye publik untuk mendukung pelaksanan rezim anti pencucian uang di Indonesia.
7. Percepatan ratifikasi dan harmonisasi perjanjian internasional.
8. Penguatan pengaturan tentang jasa pengiriman uang alternatif (Alternative Remittance System) dan pengiriman uang secara elektronis (wire transfer).
Sumber : Interpol.go.id
Post a Comment