Tantangan yang dihadapi oleh POLRI
Sejumlah tantangan dan isu yang menjadi perhatian Polri dalam satu tahun ke depan digolongkan menjadi tantangan yang dihadapkan pada akuntabilitas eksternal dan internal yang perlu dicarikan solusi secara cepat, tepat, efektif dan efisien.
Tantangan Akuntabilitas Eksternal.
Adalah sejumlah tantangan dan isu yang berasal dari luar Polri yang bersifat lokal, nasional, regional maupun internasional dalam kurun waktu satu tahun ke depan, sebagai berikut:
1) Pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan Polri, memelihara keamanan dalam negeri dan menjaga keutuhan NKRI di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, maka perlu dilakukan akselerasi pembangunan satuan wilayah kepolisian, terutama di perbatasan dan pulau-pulau terluar Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur.
2) Empat jenis kejahatan yang menjadi sasaran Prioritas.
Dari empat jenis kejahatan yang menjadi sasaran pelaksanaan tugas Polri (kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan yang berdampak kontinjensi) ditentukan beberapa jenis kejahatan yang berdampak luas dan meresahkan masyarakat sebagai prioritas penindakan :
Perjudian di Indonesia telah menjadi sebuah kejahatan besar yang terorganisir, canggih dan bersifat lintas batas negara. Penindakan terhadap berbagai bentuk perjudian akan tetap dilaksanakan secara konsisten tanpa pandang bulu, sekaligus merupakan bukti dari keseriusan Polri untuk memberantas perjudian. Selain bentuk perjudian yang telah dikenal beroperasi disejumlah tempat di Indonesia yang membutuhkan adanya ruang dan waktu, namun saat ini muncul perjudian dalam bentuk baru yang menggunakan perkembangan teknologi informasi atau internet. Oleh karenanya, selain mencegah dan memberantas perjudian konvensional yang telah ada, perjudian bentuk baru melalui internet harus dicegah dan diberantas.
(2) Premanisme.
Premanisme apapun bentuknya, termasuk debt collector yang ada di daerah-daerah dan menimbulkan kesan Polri sudah tidak mampu mengatasi harus dilakukan penindakan secara tegas dan terukur.
(3) Kejahatan Jalanan (street crime)
Khusus di kota-kota besar tertentu, kejahatan jalanan sangat meresahkan masyarakat. Kejahatan jalanan biasanya terkait dengan infrastruktur perkotaan, oleh karena itu selain dilakukan penindakan secara tegas juga perlu dilakuan koordinasi dengan pemerintah kota. Pencegahan terhadap semua bentuk kejahatan jalanan (street crime) dilakukan dengan mengoptimalkan patroli polisi sebagai back bone dan kring reserse sebagai upaya proaktif dalam mencegah terjadinya kejahatan jalanan.
Tertangkapnya sejumlah pelaku aksi terorisme di Indonesia bukan berarti bahwa aksi terorisme di Indonesia telah berakhir. Dalam konteks global, terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Dengan demikian Polri tidak akan berhenti memerangi terorisme dengan penegakkan hukum maupun menggunakan konsep deradikalisasi (usaha meredam kelompok-kelompok radikal). Konsep tersebut menjadi kebanggaan bagi Indonesia karena konsep deradikalisasi yang diperkenalkan Polri dalam menangani teroris telah diadopsi oleh beberapa negara dalam rangka pemberantasan terorisme. Oleh karena itu upaya-upaya peningkatan pencegahan dan penindakan terorisme tetap akan dilanjutkan, termasuk dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi peran Detasemen 88/AT.
(2) Narkoba.
Narkoba merupakan isu yang cukup signifikan bagi Polri. Badan narkotika nasional (BNN) mencatat bahwa di Indonesia sekitar empat juta jiwa sekarat mengidap ketergantungan Narkoba dan Rp. 30 triliun terbuang percuma akibat praktek penyalahgunaan Narkoba. Setiap tahunnya sekitar 15 ribu jiwa tewas sia-sia. Saat ini Indonesia tak lagi hanya sekedar sebagai transit perdagangan Narkoba, tetapi telah menjadi pasar potensial sekaligus produsen Narkoba. Oleh karena itu upaya pencegahan dan pemberantasan Narkoba harus ditingkatkan secara terus menerus menjadi program prioritas Polri ke depan.
(3) Perdagangan Manusia (trafficking in persons / Tips).
Polri terus melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini disadari bahwa kejahatan ini mempunyai keterkaitan dengan pola rekrutmen dan pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan kegiatan yang berkedok pengiriman TKI menjadi pintu awal terjadinya tindak pidana.
Anarkisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok / organisasi massa tertentu yang dapat berimplikasi kontinjensi merupakan kejahatan yang sejak dini harus dilakukan upaya-upaya penindakan secara tegas. Penindakan terhadap premanisme dan anarkisme merupakan bagian dari upaya Polri menciptakan rasa aman kepada setiap warga negara.
(2) Konflik komunal.
Konflik komunal yang dilatar belakangi oleh isu kesukuan, agama, ras dan antar golongan memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi pada masyarakat Indonesia yang majemuk. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan dampak yang luas pada seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu upaya pencegahan harus dikedepankan, dengan melibatkan semua komponen dan dengan memperhatikan konvensi sosial (budaya masyarakat setempat).
3) Pengamanan Pemilu Tahun 2009. Munculnya potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat memicu konflik horizontal dan vertikal. Pemilu sebagai agenda demokrasi di Indonesia perlu dilakukan pengamanan oleh Polri namun dalam pelaksanaannya Polri wajib bersikap netral dan tidak memihak kepada kekuatan politik manapun.
4) Pengembangan Kerjasama. Kerjasama dengan sejumlah instansi dalam negeri maupun internasional dengan tujuan melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan.
Tantangan Akuntabilitas Internal.
Tantangan internal Polri yang dihadapi adalah sebagai berikut:
1) Reformasi Polri. Reformasi Polri menjadi isu utama dan esensial, mengingat pembangunan Polri bertujuan untuk menciptakan Poiri yang mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat. Reformasi Poiri bukanlah sebagai suatu proses yang dapat ditempuh dalam jangka pendek, namun juga bukan ditempuh dalam jangka waktu yang tak terbatas. Artinya harus ada batas waktu yang jelas untuk melakukannya dan sekaligus dapat diukur. Dengan demikian, sejumlah langkah akselerasi dan kelengkapan penunjang reformasi Poiri perlu dilakukan, terutama dalam hal reformasi kultural yang menjadi satu kesatuan dengan pembenahan struktural dan instrumental, seperti restrukturisasi organisasi, penerapan manajemen mutu dan kinerja, serta Sistem Pendidikan Poiri yang lebih profesional.
Untuk menunjang aspek kultural, maka sebagai posisi sentralnya adalah pada pembenahan Sistem Pendidikan Poiri yaitu untuk membentuk personel Poiri yang profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan yaitu adanya nilai tambah (value added), kesamaan peluang (equal opportunity), keselarasan internal (internal alignment), keselarasan eksternal (external alignment), efisiensi (efficiency) dan kesinambungan (sustainability). Pembenahan sistem pendidikan perlu dilakukan dengan komitmen yang tinggi menghadapi tantangan pembenahan internal terutama dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan yang bebas dari penyelewengan yang terjadi di lembaga pendidikan dan pelatihan Poiri.
Peningkatan kinerja pada SPN mutlak harus dilakukan meliputi kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan guna meningkatkan kualitas kinerja dan kompetensi para bintara lulusan SPN. Bahan ajaran yang diberikan di SPN harus betul-betui dapat menjawab tantangan tugas yang dihadapi di lapangan. Peningkatan kualitas para bintara mencerminkan kinerja kepolisian secara menyeluruh, karena sekitar 90 % dari jumlah anggota Polri adalah Bintara.
Pada Secapa Polri, dilakukan peningkatan kurikulum yang dapat memastikan bahwa para lulusan secapa benar-benar memiliki kompetensi yang memadai sebagai first line supervisor. Untuk pendidikan perwira sumber sarjana (PPSS) diperlukan peningkatan kualitas maupun kuantitas karena secara spesifik Polri terus membutuhkan keahlian-keahlian tertentu dan spesialis guna mendukung secara teknis tugas-tugas operasional Polri.
Untuk Selapa Polri dan PTIK dilakukan pembenahan kurikulum mengingat posisi strategis dari para lulusannya untuk menjadi mediator dalam transformasi kebijakan unsur pimpinan kepada bawahan. Peningkatan kurikulum diarahkan untuk terampil dalam memecahkan persoalan-persoalan di lapangan, di mana para perwira lulusannya ditempatkan. Selanjutnya dalam rangka pengakuan, memajukan dan mengembangkan ilmu kepolisian di Indonesia, maka PTIK sebagai lembaga pendidikan tinggi Polri harus dipayungi oleh sebuah lembaga pendidikan ilmiah dalam hal ini adalah Universitas Indonesia melalui pengembangan Fakultas Ilmu Kepolisian. Oleh karena itu jabatan Gubernur PTIK dan Dekan PTIK harus kembali dipisah sesuai dengan Keputusan Bersama antara Kapolri dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor Nomor : 0214/0/1980 dan No. Pol. : Kep/12/VIII/80 tentang Pembinaan dan Tanggung Jawab Bidang Akademik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian pula Sespim Polri perlu peningkatan kurikulum agar dapat member! bobot kualitas untuk kepentingan regenerasi Polri terutama membangun komitmen, moral, kompetensi, dan Visi yang dapat membawa Polri menjadi lebih maju dan mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin komplek.
Peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan di berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan Polri tersebut diiringi dengan peningkatan disiplin dan moralitas serta dedikasi yang tinggi melalui peningkatan kompetensi, pembenahan pembinaan karier tenaga pendidik dan kependidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta penindakan tegas terhadap penyelewengan yang terjadi, seperti pengaturan ranking, nepotisme dalam penerimaan, penempatan, dan lainnya.
2) Tata Kelola (governance), Polri harus mengadopsi berbagai prinsip tata kelola yang baik, berkaitan dengan:
a) Tata kelola logistik.
(1) Berupa kepatuhan untuk menjalankan kepres no. 80 tahun 2003 mengenai pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi pemerintah,
(2) Efektivitas dan efisiensi pengadaan dan penggunaan barang dan jasa. Efektivitas berarti sesuai dengan kebutuhan, sedangkan efisiensi berarti tidak memerlukan biaya yang tinggi.
b) Tata kelola asset.
Berkaitan dengan pencatatan Sistem Akuntabilitas Barang Milik Negara (SABMN) terhadap semua asset negara sehingga jelas statusnya. Sampai saat ini Polri masih mendapatkan status disclaimer dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI, yang berarti pencatatan assetnya belum tertib dan tidak jelas keberadaan dan statusnya, sehingga masih banyak asset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masalah tata kelola asset akan dituntaskan dalam waktu 3 bulan menjelang akhir tahun 2008.
c) Tata Kelola Anggaran.
Berkaitan dengan 2 (dua) hal, yaitu (1) Penyerapan anggaran, serta (2) Efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Sampai saat ini (awal bulan Oktober 2008) penyerapan anggaran tahun 2008 ternyata berjalan sangat lambat. Hal ini mengindikasikan bahwa Polri belum menjalankan semua rencana kerja sesuai dengan jadwal. Penyerapan anggaran harus segera diselesaikan dalam waktu 3 bulan menjelang akhir tahun 2008.
3) Kesejahteraan.
Perbaikan kesejahteraan dipastikan akan mendorong terjadinya perbaikan kinerja Polri dimasa depan. Prinsip dasar kerja Polri adalah pengabdian, namun tidak dapat diabaikan bahwa aspek kesejahteraan menjadi salah satu faktor pemicu utama untuk munculnya kinerja tinggi dan budaya melayani di Polri. Oleh karenanya perlu secara proaktif menyusun sistem remunerasi yang tepat untuk Polri dan segera mengusulkan kepada pemerintah. Penyusunan sistem remunerasi mengacu kepada beberapa prinsip sebagai berikut (bestpractice).
a) Keadilan Internal
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri harus adil secara internal, yang dilandaskan pada perimbangan beban tugas dan tanggungjawab jabatan yang diemban oleh masing-masing orang.
b) Keadilan Eksternal
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri harus pula adil secara eksternal, yang dilandaskan pada perimbangan terhadap beban tugas dan tanggungjawab jabatan yang setara di organisasi lain yang sejenis, baik institusi pemerintahan di Indonesia (terutama institusi pemerintahan yang telah melakukan perubahan sistem remunerasi dalam rangka reformasi birokrasi seperti di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, BPKP, serta institusi sejenis seperti KPK, Kejaksaan, KPPU, dan lain-lainnya), maupun institusi kepolisian di negara-negara lain.
c) Kecukupan Ekonomis.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri juga perlu mempertimbangkan kecukupan secara standar kelayakan ekonomi, yang dilandaskan pada tingkat kebutuhan hidup, tingkat inflasi, dan indikator ekonomi lainnya.
d) Memberikan Motivasi.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil haruslah dapat mendorong peningkatan motivasi melalui penghargaan finansial yang diberikan, sehingga dapat mendorong kinerja setiap personil.
e) Menghargai Prestasi dan Keahlian.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil harus terkait dengan kinerja dan keahlian.
f) Ketersediaan Anggaran
Tingkat remunerasi yang diberikan harus juga mempertimbangkan kesanggupan penyediaan anggaran secara bertahap.
4) Masalah Pencitraan.
Pencitraan Polri merupakan salah satu yang perlu diperbaiki. Perbaikan citra Polri berkaitan dengan bagaimana kinerja dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh para personil Polri. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu langkah terobosan untuk mengatasi masalah pencitraan ini. Tindakan yang akan dilakukan adalah dengan memperjelas standar etika kerja di semua Satwil dan Satker, terutama di sentra pelayanan kepolisian. Harus ada pedoman apa yang harus dilakukan (do) dan tidak boleh dilakukan (don'f) dan ditempelkan dalam bentuk poster di tempat tersebut. Kemudian dilakukan pemberantasan pungli sesuai dengan standar etika kerja tersebut, baik yang sifatnya eksternal dari masyarakat, maupun internal Polri sendiri. Program pemberantasan pungli ini dilakukan dalam 3 bulan pertama dan dimulai dari sekarang, dan harus tuntas akhir tahun ini. Disadari bahwa hal tersebut adalah pekerjaan besar dan berat, namun harus dilakukan demi pencitraan Polri yang bersih, profesional, dan patuh hukum.
sumber : Komisi Kepolisian Indonesia
Tantangan Akuntabilitas Eksternal.
Adalah sejumlah tantangan dan isu yang berasal dari luar Polri yang bersifat lokal, nasional, regional maupun internasional dalam kurun waktu satu tahun ke depan, sebagai berikut:
1) Pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan Polri, memelihara keamanan dalam negeri dan menjaga keutuhan NKRI di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, maka perlu dilakukan akselerasi pembangunan satuan wilayah kepolisian, terutama di perbatasan dan pulau-pulau terluar Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur.
2) Empat jenis kejahatan yang menjadi sasaran Prioritas.
Dari empat jenis kejahatan yang menjadi sasaran pelaksanaan tugas Polri (kejahatan konvensional, transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan yang berdampak kontinjensi) ditentukan beberapa jenis kejahatan yang berdampak luas dan meresahkan masyarakat sebagai prioritas penindakan :
- Kejahatan konvensional, merupakan kejahatan dengan isu paling mendasar dan sering terjadi ditengah masyarakat, memiliki lingkup lokal dan meresahkan masyarakat. Penindakan terhadap kejahatan ini dirasakan langsung oleh masyarakat. Bentuk kejahatan tersebut diantaranya perjudian, pencurian kekerasan/pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, penipuan, penggelapan, pembakaran, pengrusakan, pemalsuan, penculikan, dan pemerasan. Termasuk premanisme dan kejahatan jalanan yang perlu penanganan secara intensif, terutama yang terjadi di lokasi obyek vital, yang dapat berimplikasi pada kerugian ekonomi dan kepercayaan internasional. Selanjutnya dari 4 jenis kejahatan yang marak terjadi, ditentukan beberapa bentuk kejahatan yang menjadi prioritas akselerasi, sebagai berikut:
Perjudian di Indonesia telah menjadi sebuah kejahatan besar yang terorganisir, canggih dan bersifat lintas batas negara. Penindakan terhadap berbagai bentuk perjudian akan tetap dilaksanakan secara konsisten tanpa pandang bulu, sekaligus merupakan bukti dari keseriusan Polri untuk memberantas perjudian. Selain bentuk perjudian yang telah dikenal beroperasi disejumlah tempat di Indonesia yang membutuhkan adanya ruang dan waktu, namun saat ini muncul perjudian dalam bentuk baru yang menggunakan perkembangan teknologi informasi atau internet. Oleh karenanya, selain mencegah dan memberantas perjudian konvensional yang telah ada, perjudian bentuk baru melalui internet harus dicegah dan diberantas.
(2) Premanisme.
Premanisme apapun bentuknya, termasuk debt collector yang ada di daerah-daerah dan menimbulkan kesan Polri sudah tidak mampu mengatasi harus dilakukan penindakan secara tegas dan terukur.
(3) Kejahatan Jalanan (street crime)
Khusus di kota-kota besar tertentu, kejahatan jalanan sangat meresahkan masyarakat. Kejahatan jalanan biasanya terkait dengan infrastruktur perkotaan, oleh karena itu selain dilakukan penindakan secara tegas juga perlu dilakuan koordinasi dengan pemerintah kota. Pencegahan terhadap semua bentuk kejahatan jalanan (street crime) dilakukan dengan mengoptimalkan patroli polisi sebagai back bone dan kring reserse sebagai upaya proaktif dalam mencegah terjadinya kejahatan jalanan.
- Kejahatan transnasional.
Tertangkapnya sejumlah pelaku aksi terorisme di Indonesia bukan berarti bahwa aksi terorisme di Indonesia telah berakhir. Dalam konteks global, terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Dengan demikian Polri tidak akan berhenti memerangi terorisme dengan penegakkan hukum maupun menggunakan konsep deradikalisasi (usaha meredam kelompok-kelompok radikal). Konsep tersebut menjadi kebanggaan bagi Indonesia karena konsep deradikalisasi yang diperkenalkan Polri dalam menangani teroris telah diadopsi oleh beberapa negara dalam rangka pemberantasan terorisme. Oleh karena itu upaya-upaya peningkatan pencegahan dan penindakan terorisme tetap akan dilanjutkan, termasuk dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi peran Detasemen 88/AT.
(2) Narkoba.
Narkoba merupakan isu yang cukup signifikan bagi Polri. Badan narkotika nasional (BNN) mencatat bahwa di Indonesia sekitar empat juta jiwa sekarat mengidap ketergantungan Narkoba dan Rp. 30 triliun terbuang percuma akibat praktek penyalahgunaan Narkoba. Setiap tahunnya sekitar 15 ribu jiwa tewas sia-sia. Saat ini Indonesia tak lagi hanya sekedar sebagai transit perdagangan Narkoba, tetapi telah menjadi pasar potensial sekaligus produsen Narkoba. Oleh karena itu upaya pencegahan dan pemberantasan Narkoba harus ditingkatkan secara terus menerus menjadi program prioritas Polri ke depan.
(3) Perdagangan Manusia (trafficking in persons / Tips).
Polri terus melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini disadari bahwa kejahatan ini mempunyai keterkaitan dengan pola rekrutmen dan pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan kegiatan yang berkedok pengiriman TKI menjadi pintu awal terjadinya tindak pidana.
- Kejahatan yang merugikan kekayaan negara (korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal mining). Penindakan terhadap kejahatan korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal mining terus dilaksanakan secara maksimal sepanjang tahun untuk menyelamatkan kekayaan negara.
- Kejahatan yang berimplikasi kontinjensi.
Anarkisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok / organisasi massa tertentu yang dapat berimplikasi kontinjensi merupakan kejahatan yang sejak dini harus dilakukan upaya-upaya penindakan secara tegas. Penindakan terhadap premanisme dan anarkisme merupakan bagian dari upaya Polri menciptakan rasa aman kepada setiap warga negara.
(2) Konflik komunal.
Konflik komunal yang dilatar belakangi oleh isu kesukuan, agama, ras dan antar golongan memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi pada masyarakat Indonesia yang majemuk. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan dampak yang luas pada seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu upaya pencegahan harus dikedepankan, dengan melibatkan semua komponen dan dengan memperhatikan konvensi sosial (budaya masyarakat setempat).
3) Pengamanan Pemilu Tahun 2009. Munculnya potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat memicu konflik horizontal dan vertikal. Pemilu sebagai agenda demokrasi di Indonesia perlu dilakukan pengamanan oleh Polri namun dalam pelaksanaannya Polri wajib bersikap netral dan tidak memihak kepada kekuatan politik manapun.
4) Pengembangan Kerjasama. Kerjasama dengan sejumlah instansi dalam negeri maupun internasional dengan tujuan melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan.
Tantangan Akuntabilitas Internal.
Tantangan internal Polri yang dihadapi adalah sebagai berikut:
1) Reformasi Polri. Reformasi Polri menjadi isu utama dan esensial, mengingat pembangunan Polri bertujuan untuk menciptakan Poiri yang mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat. Reformasi Poiri bukanlah sebagai suatu proses yang dapat ditempuh dalam jangka pendek, namun juga bukan ditempuh dalam jangka waktu yang tak terbatas. Artinya harus ada batas waktu yang jelas untuk melakukannya dan sekaligus dapat diukur. Dengan demikian, sejumlah langkah akselerasi dan kelengkapan penunjang reformasi Poiri perlu dilakukan, terutama dalam hal reformasi kultural yang menjadi satu kesatuan dengan pembenahan struktural dan instrumental, seperti restrukturisasi organisasi, penerapan manajemen mutu dan kinerja, serta Sistem Pendidikan Poiri yang lebih profesional.
Untuk menunjang aspek kultural, maka sebagai posisi sentralnya adalah pada pembenahan Sistem Pendidikan Poiri yaitu untuk membentuk personel Poiri yang profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan yaitu adanya nilai tambah (value added), kesamaan peluang (equal opportunity), keselarasan internal (internal alignment), keselarasan eksternal (external alignment), efisiensi (efficiency) dan kesinambungan (sustainability). Pembenahan sistem pendidikan perlu dilakukan dengan komitmen yang tinggi menghadapi tantangan pembenahan internal terutama dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan yang bebas dari penyelewengan yang terjadi di lembaga pendidikan dan pelatihan Poiri.
Peningkatan kinerja pada SPN mutlak harus dilakukan meliputi kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana yang memadai sesuai kebutuhan guna meningkatkan kualitas kinerja dan kompetensi para bintara lulusan SPN. Bahan ajaran yang diberikan di SPN harus betul-betui dapat menjawab tantangan tugas yang dihadapi di lapangan. Peningkatan kualitas para bintara mencerminkan kinerja kepolisian secara menyeluruh, karena sekitar 90 % dari jumlah anggota Polri adalah Bintara.
Pada Secapa Polri, dilakukan peningkatan kurikulum yang dapat memastikan bahwa para lulusan secapa benar-benar memiliki kompetensi yang memadai sebagai first line supervisor. Untuk pendidikan perwira sumber sarjana (PPSS) diperlukan peningkatan kualitas maupun kuantitas karena secara spesifik Polri terus membutuhkan keahlian-keahlian tertentu dan spesialis guna mendukung secara teknis tugas-tugas operasional Polri.
Untuk Selapa Polri dan PTIK dilakukan pembenahan kurikulum mengingat posisi strategis dari para lulusannya untuk menjadi mediator dalam transformasi kebijakan unsur pimpinan kepada bawahan. Peningkatan kurikulum diarahkan untuk terampil dalam memecahkan persoalan-persoalan di lapangan, di mana para perwira lulusannya ditempatkan. Selanjutnya dalam rangka pengakuan, memajukan dan mengembangkan ilmu kepolisian di Indonesia, maka PTIK sebagai lembaga pendidikan tinggi Polri harus dipayungi oleh sebuah lembaga pendidikan ilmiah dalam hal ini adalah Universitas Indonesia melalui pengembangan Fakultas Ilmu Kepolisian. Oleh karena itu jabatan Gubernur PTIK dan Dekan PTIK harus kembali dipisah sesuai dengan Keputusan Bersama antara Kapolri dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor Nomor : 0214/0/1980 dan No. Pol. : Kep/12/VIII/80 tentang Pembinaan dan Tanggung Jawab Bidang Akademik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian pula Sespim Polri perlu peningkatan kurikulum agar dapat member! bobot kualitas untuk kepentingan regenerasi Polri terutama membangun komitmen, moral, kompetensi, dan Visi yang dapat membawa Polri menjadi lebih maju dan mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin komplek.
Peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan di berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan Polri tersebut diiringi dengan peningkatan disiplin dan moralitas serta dedikasi yang tinggi melalui peningkatan kompetensi, pembenahan pembinaan karier tenaga pendidik dan kependidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta penindakan tegas terhadap penyelewengan yang terjadi, seperti pengaturan ranking, nepotisme dalam penerimaan, penempatan, dan lainnya.
2) Tata Kelola (governance), Polri harus mengadopsi berbagai prinsip tata kelola yang baik, berkaitan dengan:
a) Tata kelola logistik.
(1) Berupa kepatuhan untuk menjalankan kepres no. 80 tahun 2003 mengenai pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi pemerintah,
(2) Efektivitas dan efisiensi pengadaan dan penggunaan barang dan jasa. Efektivitas berarti sesuai dengan kebutuhan, sedangkan efisiensi berarti tidak memerlukan biaya yang tinggi.
b) Tata kelola asset.
Berkaitan dengan pencatatan Sistem Akuntabilitas Barang Milik Negara (SABMN) terhadap semua asset negara sehingga jelas statusnya. Sampai saat ini Polri masih mendapatkan status disclaimer dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI, yang berarti pencatatan assetnya belum tertib dan tidak jelas keberadaan dan statusnya, sehingga masih banyak asset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masalah tata kelola asset akan dituntaskan dalam waktu 3 bulan menjelang akhir tahun 2008.
c) Tata Kelola Anggaran.
Berkaitan dengan 2 (dua) hal, yaitu (1) Penyerapan anggaran, serta (2) Efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Sampai saat ini (awal bulan Oktober 2008) penyerapan anggaran tahun 2008 ternyata berjalan sangat lambat. Hal ini mengindikasikan bahwa Polri belum menjalankan semua rencana kerja sesuai dengan jadwal. Penyerapan anggaran harus segera diselesaikan dalam waktu 3 bulan menjelang akhir tahun 2008.
3) Kesejahteraan.
Perbaikan kesejahteraan dipastikan akan mendorong terjadinya perbaikan kinerja Polri dimasa depan. Prinsip dasar kerja Polri adalah pengabdian, namun tidak dapat diabaikan bahwa aspek kesejahteraan menjadi salah satu faktor pemicu utama untuk munculnya kinerja tinggi dan budaya melayani di Polri. Oleh karenanya perlu secara proaktif menyusun sistem remunerasi yang tepat untuk Polri dan segera mengusulkan kepada pemerintah. Penyusunan sistem remunerasi mengacu kepada beberapa prinsip sebagai berikut (bestpractice).
a) Keadilan Internal
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri harus adil secara internal, yang dilandaskan pada perimbangan beban tugas dan tanggungjawab jabatan yang diemban oleh masing-masing orang.
b) Keadilan Eksternal
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri harus pula adil secara eksternal, yang dilandaskan pada perimbangan terhadap beban tugas dan tanggungjawab jabatan yang setara di organisasi lain yang sejenis, baik institusi pemerintahan di Indonesia (terutama institusi pemerintahan yang telah melakukan perubahan sistem remunerasi dalam rangka reformasi birokrasi seperti di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, BPKP, serta institusi sejenis seperti KPK, Kejaksaan, KPPU, dan lain-lainnya), maupun institusi kepolisian di negara-negara lain.
c) Kecukupan Ekonomis.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil Polri juga perlu mempertimbangkan kecukupan secara standar kelayakan ekonomi, yang dilandaskan pada tingkat kebutuhan hidup, tingkat inflasi, dan indikator ekonomi lainnya.
d) Memberikan Motivasi.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil haruslah dapat mendorong peningkatan motivasi melalui penghargaan finansial yang diberikan, sehingga dapat mendorong kinerja setiap personil.
e) Menghargai Prestasi dan Keahlian.
Remunerasi yang diberikan kepada setiap personil harus terkait dengan kinerja dan keahlian.
f) Ketersediaan Anggaran
Tingkat remunerasi yang diberikan harus juga mempertimbangkan kesanggupan penyediaan anggaran secara bertahap.
4) Masalah Pencitraan.
Pencitraan Polri merupakan salah satu yang perlu diperbaiki. Perbaikan citra Polri berkaitan dengan bagaimana kinerja dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh para personil Polri. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu langkah terobosan untuk mengatasi masalah pencitraan ini. Tindakan yang akan dilakukan adalah dengan memperjelas standar etika kerja di semua Satwil dan Satker, terutama di sentra pelayanan kepolisian. Harus ada pedoman apa yang harus dilakukan (do) dan tidak boleh dilakukan (don'f) dan ditempelkan dalam bentuk poster di tempat tersebut. Kemudian dilakukan pemberantasan pungli sesuai dengan standar etika kerja tersebut, baik yang sifatnya eksternal dari masyarakat, maupun internal Polri sendiri. Program pemberantasan pungli ini dilakukan dalam 3 bulan pertama dan dimulai dari sekarang, dan harus tuntas akhir tahun ini. Disadari bahwa hal tersebut adalah pekerjaan besar dan berat, namun harus dilakukan demi pencitraan Polri yang bersih, profesional, dan patuh hukum.
sumber : Komisi Kepolisian Indonesia
Post a Comment