KARTINI
Dari tahun ke tahun, timbul satu pertanyaan "apa yang kebanyakan orang ketahui tentang Kartini? " Selain tanggal lahirnya 21 April 1879 di Jepara, bisa dipastikan orang-orang juga tahu tentang buku "Habis Gelap Terbitlah Terang". Judul buku kumpulan surat-surat Kartini kepada beberapa sahabatnya di Belanda ini memang sangat terkenal.
"Habis Gelap Terbitlah Terang" di negeri kita tidak berarti banyak orang yang benar-benar mengetahui isi surat-surat Kartini. Padahal, makna peringatan Hari Kartini bisa dipahami semata-mata hanya dengan mengetahui buah - buah pikirannya dalam surat-surat tersebut. Banyak orang tahu judul bunya saja namun tidak tahu sama sekali isinya apalagi membacanya bahkan melihat wujud bukunya saja belum pernah.
Kumpulan surat Kartini pertama kali diterbitkan dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis Tot Licht" pada tahun 1911. Buku tersebut disusun oleh JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang saat itu menjabat sebagai menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L Symmers.
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran". Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armin Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara. Pada 1938, buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali.
Dalam bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang", Armin Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi.
Dalam buku versi baru tersebut, ia juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurutnya, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Pembahasan atau bab pertama berjudul: Dirudung cita - cita, dihambar kasih sayang. Surat-surat Kartini pada bagian ini terutama berisi harapannya untuk memperoleh "pertolongan" dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." (hlm 45).
Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Pada bab awal ini, gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan menyajikan surat-surat Kartini yang isinya banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.
Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun ternyata, cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah, dalam surat, juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi-terutama ke Eropa-memang diungkap dalam surat-surat. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Dan ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." (hlm 193). Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Kartini akhirnya menikah dengan bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Kartini wafat pada 13 September 1904 setelah melahirkan seorang anak laki-laki. Pada surat-surat terakhir kepada suami istri Abendanon, Kartini sudah mengetahui perihal ajal yang hampir tiba. Surat terakhir ditujukan pada Nyonya Abendanon, 7 September 1904. Kartini wafat pada usia 25 tahun. Demikian surat-surat Kartini yang dirangkai oleh Armijn Pane dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Kumpulan surat-surat Kartini, selain diterjemahkan oleh Armin Pane, juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan "Door Duisternis Tot Licht" di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap "Door Duisternis Tot Licht" pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya". Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia (hlm v).
Salah satu alasan mengapa Sulastin berkeinginan menerjemahkan secara lengkap "Door Duisternis Tot Licht" adalah karena dipandang semakin lama semakin sedikit orang di negeri ini yang menguasai bahasa Belanda. Dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, surat-surat Kartini akan dapat dibaca oleh banyak orang.
Berbeda dengan "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang oleh Armin Pane sengaja dibuat lebih ringkas, buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada "Door Duisternis Tot Licht". Selain diterbitkan dalam "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya", terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku "Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya".
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah "Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900- 1904". Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam "Door Duisternis Tot Licht" versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong "sensitif" dan tidak ada dalam "Door Duisternis Tot Licht" versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku "Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900- 1904" memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Buku-buku kumpulan surat Kartini, sampai saat ini masih terus dicetak dan beredar di pasar. Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer. Buku "Panggil Aku Kartini Saja" terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya. Banyaknya buku yang membicarakan tentang Kartini sampai saat ini menjadi suatu indikasi keistimewaan pribadi dirinya. Namun, selain mengundang decak kagum banyak kalangan di berbagai negeri, surat-surat Kartini juga mengundang gugatan dan perdebatan. Gugatan-gugatan tidak hanya ditujukan pada surat-surat Kartini saja, juga konsistensi pada apa yang ia kritik dan perjuangkan. Kartini dianggap mengkhianati perjuangannya sendiri dengan "menerima" poligami.
Ada kalangan yang meragukan "kebenaran" surat-surat Kartini. Ada dugaan JH Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan saat itu, merekayasa surat- surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di negara-negara jajahannya, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan. Apalagi, hingga saat ini sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Jangankan menemukan surat, menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan JH Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Selengkapnya tentang Kartini bisa dilihat di Wiki
Post a Comment