Header Ads

PEMILU 1971

Perjalanan politik sepanjang masa kepemimpinan Presiden Soekarno, ditambah penobatan dirinya sebagai presiden seumur hidup, menyebabkan pemilu hanya bisa sekali terselenggara di masa Orde Lama. Baru pada 3 Juli 1971, atau 16 tahun setelah Pemilu 1955, Indonesia bisa menggelar pemilu kedua.
Pemilu 1971, yang berpayung pada UU 15/1969, boleh dibilang spesifik, karena merupakan babak awal dari proses penyederhanaan partai.

Dari puluhan partai, hanya 10 yang lolos verifikasi dan berhak menjadi kontestan pada Pemilu 1971. Ke-10 partai itu adalah PNI, Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), serta Golkar sebagai pendatang baru.

Jumlah penduduk Indonesia saat itu 114.492.428 jiwa, di mana 58.558.776 orang memiliki hak pilih. Ada 26 daerah pemilihan, sesuai dengan jumlah provinsi saat itu. Sistem pemilu yang digunakan adalah perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Jadi, jumlah kursi di DPR dan DPRD yang diperoleh masing-masing partai cenderung berimbang dengan dukungan masyarakat pemilih terhadap partai tersebut.

Adapun jumlah kursi DPR-RI ditetapkan 460 orang, tetapi 100 di antaranya menjadi jatah ABRI, yang tidak berhak memilih dan dipilih. Dari 58.558.776 calon pemilih, jumlah suara yang sah tercatat 54.699.509 (93,41 persen), dan suara tidak sah 2.878.920 (4,92 persen).

Dalam gawe besar pertama di awal Orde Baru ini, muncul berbagai peristiwa penting. Misalnya untuk kali pertama muncul gerakan tidak menggunakan hak pilihnya, atau golongan putih (golput), yang dipelopori Arief Budiman dkk.

Muncul pula kebijakan aneh, di mana ABRI (kini TNI) baik secara terbuka maupun samar-samar melakukan keberpihakan terhadap salah satu kontestan . Sebaliknya banyak elite partai diintimidasi, baik sebelum maupun pada saat berkampanye.

Masa kampanye berlangsung 60 hari (27 April - 25 Juni 1971), di mana intimidasi terhadap beberapa partai makin kentara dilakukan oleh para penyelenggara negara, terutama yang berbasis militer. Padahal, hampir semua pejabat negara saat itu berasal dari kalangan milter.

Pengerahan massa sangat dominan saat itu. Penggalangan massa yang dilakukan pemerintah hingga ke tingkat desa/kelurahan, baik secara halus maupun intimidasi, membuat Golkar tak terbendung partai mana pun.

Dalam hitungan kursi, Golkar meraih 236 kursi DPR, NU 58, Parmusi 26, PNI 20, dan PSII 10. Tiga partai meraih kursi kurang dari 10, yaitu Parkindo (7), Partai Katolik (3), Perti (2). Bahkan Partai Murba dan IPKI tak meraih sebuah kursi pun.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.