Header Ads

KONSPIRASI POLITIK POLRI DI BAWAH DEPARTEMEN SIPIL

Kilas Balik :
KONSPIRASI POLITIK POLRI DI BAWAH DEPARTEMEN SIPIL
Yang terhormat
1.KETUA DPR RI
2.KETUA KOMISI I DPR RI
3.ANGGOTA KOMISI I DPR RI
DI JAKARTA. 
Dengan hormat,
Lewat surat ini, perkenankan kami KOMISI KEPOLISIAN INDONESIA (INDONESIAN POLICE COMMISSION ) mencermati langkah Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono yang kembali mempercundangi Polri dengan kemauan politisnya menempatkan posisi Polri di bawah Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan HAM.

Alasannya , menurut Menhan dalam pernyataan persnya pentingnya memposisikan Polri di bawah departemen sipil sesuai dalam RUU Keamanan Nasional. Lebih lanjut dikatakan agar kordinasi kebijakan Polri disamping langsung ke Presiden, Polri akan dipayungi satu kewenangan sipil yang namanya departemen.
Menurut Menhan , jika polisi menolak, hal tersebut merupakan kewajaran karena memang ada trauma Polri yang pernah berada di bawah Dephan dan TNI . Kini mereka ( Polri ) sedang menikmati kebebasannya , tetapi tidak ada salahnya bila mereka harus dibawah departemen sipil.
Ke depan, lanjut Menhan UU Keamanan Nasional bisa diserasikan antara UU Kepolisian, UU Pertahanan dan UU TNI. Hal itu memang perlu diserasikan, tegasnya karena kemandiriannya langsung di bawah presiden. Kini melalui pengaturan undang –undang tersebut akan ada kordinasi antara polisi dengan menteri yang akan menangani polisi sebagai aparat keamanan dalam negeri. ( seputar Indonesia 19 / 12/ 2006 )
Konspirasi politik untuk menempatkan Polri di bawah departemen sebenarnya masalah klasik – yang secara berkala ditumbuhkembangkan , namun selalu kandas ditelan dinamika perkembangan masyarakat. Rupanya, tidak jera terus melakukan upaya yang spekulatif.
Sehubungan dengan itu, hendaknya berbagai fihak tetap cerdas melihat fakta hukum yang ada yaitu, landasan hukum yang paling tinggi adalah UUD 1945, TAP MPR baru kemudian perangkat perundangan lainnya.
Polri dalam konstelasi ketatanegaraan.
1 April 1999 Presiden BJ Habibie konsisten terhadap keputusan politiknya, sebagaimana diucapkan pada HUT ABRI 5 Oktober 1998 memisahkan Polri dari stuktur Komando ABRI. Konsistensi itu memberi kedudukan Polri sebagai lembaga yang berdiri sendiri diberikan otonomi dalam melaksanakan tugasnya sekali pun masih berada dengan Menhankam/ Pangab.
Kendati pun Polri sudah keluar dari struktur ABRI namun masih ada intervensi terhadap pelaksanaan tugasnya — karena Polri masih harus tunduk pada UU no 20 tahun 1982 tentang Pokok- pokok Pertahanan Keamanan Negara dan UU no 2 tahun 1998 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Indonesia.
Sebagai aparat penegak hukum – dimana Polri berada dalam satu tatanan yaitu Criminal Justice System di satu fihak harus berperan sebagai penegak hukum dalam sistim peradilan , disisi lain harus tunduk pada “ hukum tentara “
Dalam UU No 28 tahun 1997 tentang Polri – nampak memiliki otoritas hukum secara penuh, namun dalam UU no 2 tahun 1998 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Indonesia , jika tidak patuh dan loyal maka kena sangsi tidak naik pangkat, tidak memangku jabatan. Ironisnya bisa terlunta-lunta.
Sebagai institusi penegak hukum yang berada dalam Criminal Justice System, Polri tak bisa ditempatkan di departemen manapun atau bahkan membentuk departemen sendiri – sebab departemen mengemban fungsi eksekutif. Karena Polri bukan perangkat kebijakan – maka tak dapat dikelompokan ke dalam fungsi eksekutif. Polri juga tak bisa ditempatkan dilembaga yudikatif , agar dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum ada check and balance. Perannya terbatas untuk merumuskan peraturan pelaksanaan bersifat administratif.
Mencermati perkembangan Polri dalam konstelasi ketata negaraan, Presiden Abdurahman Wahid mengambil keputusan politik yang sangat arif yaitu menerbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 1 Juli 2000.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban dan memelihara keamanan dalam negeri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden
Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung , Departemen Hukum Perundangan dan HAM dan dalam urusan yustisial dan dengan Deperteman Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum.
Penegakkan supremasi hukum di Indonesia bukan hanya dituntut oleh masyarakat Indonesia, namun masyarakat internasional khususnya kalangan investor – mereka menuntut adanya kepastian penegakkan hukum dan jaminan keamanan – untuk mengamankan investasinya.
Sejalan dengan komitmen reformasi, kalangan Parlemen cerdas melihat kepentingan nasional serta internasional – maka dalam Sidang Tahunan 2000 menerbitkan TAP MPR VII/ 2000.
Dalam eleborasinya, Bab II tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 6 ; peran Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 7 ; tentang susunan dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia ; ayat ( 1 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan Kepolisian Nasional yang organisasinya disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai daerah.
Ayat ( 2 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Ayat ( 3 ) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Megawati 8 Januari 2002 — mensahkan UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Artinya, Polri dalam konstelasi ketatanegaraan sudah diletakkan secara proporsional – lebih dari itu berarti Polri diberikan otonomi dalam melaksanakan tugasnya.
Legalitas hukum Polri dipermasalahkan
Manakala Polri memperoleh otonomi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selaku aparat penegak hukum dan keamanan – konspirasi politik untuk mempercundangi Polri dalam konstelasi ketatanegaraan kembali muncul – masalahnya tetap klasik yaitu tentang wewenang keamanan — awal Nopember 2003 kadarnya lebih ekstrim – Polri divonis tak mampu menangani masalah keamanan.
Upaya merebut wewenang keamanan dari Polri sudah diawali Maret 2000. Elit militer berkehendak menempatkan Polri di bawah Menteri Dalam Negeri. Artinya, bila Polri berada dalam struktur Depdagri – satu-satunya departemen yang menjadi ajang kekuatan militer ( saat itu ) – akan sangat mudah diintervensi untuk melindungi kepentingan politik militer yang menguasai semua lini jabatan di Depdagri.
Setelah gagal menempatkan Polri dalam konstelasi ketetanegaraan, elite Depdagri yang didominir oleh militer itu – tetap berkutat dengan kemauan politiknya – yaitu berupaya menempatkan Kapolda di bawah Gubernur, ahkir Juli 2000 – alasannya karena Polri di bawah Presiden – sedangkan Gubernur selaku wakil pemerintah , maka Kapolda berada dalam fungsi pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur.
Konspirasi politik ini menemui jalan buntu, karena parlemen menganggap Polri akan kembali terkooptasi konfigurasi politik rezim penguasa ( militer ) yang cenderung menjadikan Polri sebagai alat kekuasaan. Dalam pada itu, profesionalisme dan kemandirian Polri pasti terdegradasi oleh budaya dan semangat sektoral – dengan demikian Polri akan dimanfaatkan bagi kepentingan sektoral. Selain itu, Polri akan terjebak pada batasan sekat-sekat primordialisme. Polri akan cenderung mengarah pada Kepolisian daerah – padahal Polri sebagai penegak hukum nasional – yang memiliki wewenang hukum menindak pelaku pidana tanpa mengenal batas daerah, bahkan wewenang Polri dalam menegakkan hukum bisa melampui batas Negara.
Polri dalam paradigma baru, hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai institusi profesi – melainkan harus dicermati sebagai respresentasi fungsi Negara – dalam melindungi warga negaranya di bawah payung hukum. Dimana hukum merupakan pilar bagi tegaknya demokrasi Polri kewajibannya menegakkan hukum sesuai dengan hukum positif yang dipertanggung jawabkan secara hukum pula.
Dalam pada itu , masalah keamanan dalam negeri adalah tanggung jawab Negara – yang dilakukan dengan membentuk Polisi Negara. Kerjanya dibantu oleh segenap warga Negara – melalui perbuatan patuh hukum. Artinya, keamanan dalam negeri diselenggarakan dengan payung hukum dimana Polri bertindak sebagai penegak hukumnya. 
Penjabarannya, keamanan dalam negeri adalah upaya menegakkan hukum nasional. Berkaitan dengan itu, Polri merupakan polisi nasional. Apabila sudut pandang ini dijadikan acuan, maka nuansa paradigma baru akan terlihat secara jelas dan nyata – karena dalam memandang keamanan dalam kerangka hukum bukan lagi bagian dari eskalasi ancaman menghadapi musuh.
Jadi, konspirasi politik yang belakangan ini dihembuskan dengan menggaungkan Polri di bawah Departemen dalam Negeri – kemudian menyerahkan fungsi kepolisian bahkan penegakkan hukum kepada pemerintah daerah –- sudah barang tentu tidak bisa diterima sepenuhnya bahkan ini sebagai kesalahan besar yang harus diperbaiki.
Kalau mau jujur , konspirasi politik menempatkan Polri di bawah Depdagri tujuanya hanya untuk meraih kekuasaan belaka. Dilain fihak apabila wacana menempatkan Polri di bawah Depdagri ndompleng keberhasilan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden ini sangat bahaya – sehubungan dengan itu kita harapkan Presiden tidak terokoptasi atau menyetujui – jika yang terjadi sebaliknya — maka wacana ini sangat membahayakan republik ini yang rakyatnya sedang semangat belajar demokrasi.
Artinya,kedudukan Polri dalam konstelasi ketata negaraan seperti sekarang Ini merupakan agenda reformasi –- nuansa sangat jelas lebih mengedepankan supremasi sipil dan supremasi hukum – ketimbang supremasi power – tetapi jika yang terjadi sebaliknya maka fenomenanya menjadi terbalik justru karena kemauan elite tertentu itu malah jadi dereformasi mengubur reformasi.
Pemolisian global.
Keamanan dalam negeri spektrumnya sangat luas – dari ancaman yang paling ringan yaitu gangguan ketertiban, ketentraman umum serta kriminalitas, pelanggaran lalu-lintas sampai pada gangguan terhadap keamanan Negara, separatis bersenjata, sabotase, terorisme dan subversi
Sumber ancamannya bisa datang dari luar negeri, namun bisa berasal dari dalam negeri sendiri – dimensinya bisa berasal dari masalah idiologi, poltik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan – yang kesemuanya dipengaruhi lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional. Berkaitan dengan itu, banyak Negara sekarang sedang mengarah pada pemolisian secara global – karena banyak masalah di dalam Negara faktor penyebabnya justru ancaman dari eksternal – solusi pemecahannya adalah lewat perpolisian global. 
Polri yang memiliki otoritas penangung jawab keamanan harus mencermati kemudian mengantisipasi agar totalitas Polri dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, penegakkan hukum sekaligus pemelihara Kamtibmas dapat melaksanakan dengan optimal.
Di balik wancana Menhan ( yang beyond the law ) mengatakan Polri kini tengah menikmati kebebesannya, nampak ada kecemburuan politis – karena melihat Polri memiliki kekuasaan. Menhan nampak kurang cerdas melihat realitas, kewenangan yang dianggap banyak pihak sebagai kekuasaan, adalah amanat undang- undang. Ricinya, Polri sebagai penyidik memperoleh amanat untuk menegakkan hukum. Dalam kaitan ini anggota Polri memiliki dekresi – inilah yang banyak pihak mengartikan sebagai kekuasaan.
Jadi menempatkan Polri dalam konstelasi ketatanegaraan di bawah departemen sipil dirancang dalam RUU Keamanan Nasional adalah upaya seorang beyond the law untuk melegetimasi hukum ke dalam sistem negara – ini bukan cerminan negarawan yang baik sebab tetap berkiblat “ siapa yang kuat dia menang “. 
Paradigma inilah yang kemudian membawa Dephan dan seluruh jajarannya enggan untuk melakukan agenda reformasi – walhasil lebih memilih jalur inkonstitusionil dengan menabrak UUD 1945, berupaya menyisihkan TAP VI / MPR / 2000 serta TAP / VII / MPR / 2000 .
Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya
Jakarta, 4 Januari 2007
Komisi Kepolisian Indonesia
Athar
Ketua. 
Tembusan yang terhormat :
1. Menkopolhukham
2. Menhukham
3. Kapolri

(sumber:Komisi Kepolisian Indonesia)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.